Minggu, 01 Desember 2013

Inform Consent



BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Informed Consent
 “Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “Informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “Consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “Informed Consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya. Menurut D. Veronika Komalawati, S.H , “Informed Consent” dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi. Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur sebagai berikut :
*   Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter.
*   Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan.
*   Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan “Informed Consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “Informed Consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No.585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak  berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan Informed Consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan. Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:
o   Persetujuan tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
o   Persetujuan lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
o   Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan pelaksanaan Informed Consent dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “Informed Consent”, bertujuan sebagai berikut:
µ       Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar  profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;
µ       Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1.      Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2.      Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3.      Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4.      Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5.      Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6.      Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7.      Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya Informed Consent diberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip Informed Consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut:
1.      Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2.      Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3.      Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4.      Dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien.
5.      Dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
Informed consent hanya dapat diberikan oleh orang dewasa yang telah mempunyai kemampuan untuk menerima dan mencernakan penjelasan dari dokter. Pada sebagian besar pasien anak hal tersebut belum dapat diberlakukan. Autonomy pasien sebagai asas penting dalam etika hubungan dokter-pasien mengandung unsur penjelasan yang benar dan lengkap, keterbukaan, dan informed consent. Hal terakhir inilah yang tidak dimilik oleh anak, sehingga ia diwakili oleh orangtua atau pengasuhnya.

2.2 Informed Consent Pada Anak
Secara umum, seorang dokter diharuskan memperoleh suatu informed consent (persetujuan medik) dari pasien sebelum melakukan pengobatan. Bahwa seorang anak terlalu muda atau imatur untuk memberi persetujuannya sendiri tidak membebaskan seorang dokter dari kewajibannya memperoleh suatu persetujuan medik.
Dalam hukum umum doktrin persetujuan medik yang lalu, seorang dokter diharuskan memperoleh persetujuan dari orang tua anak, pelindung, atau seorang yang berperan sebagai loco parentis (bukan orang tua), sebelum melakukan pembedahan, pemberian obat, atau bahkan menyentuh tubuh seorang anak untuk melakukan pemeriksaan. Seorang minor adalah orang berumur di bawah 21, dan hukum ini tidak dapat ditawar. Hanya terdapat satu sumber untuk persetujuan pengobatan seorang minor yaitu orang tua atau pelindung si minor dan persetujuan sah untuk semua tujuan sepanjang tidak ada penipuan dalam penggambaran pengobatan oleh si dokter.
Orang tua memiliki hak untuk memberi atau tidak memberi persetujuan, karena tanggung jawab, perawatan, dan pemenuhan kebutuhan si anak terletak di pundak orang tuanya. Dasar dari hak orang tua untuk memberi atau tidak memberi persetujuan mereka adalah bahwa “biaya untuk dukungan dan pemeliharaan anak mereka dapat meningkat banyak setelah suatu hasil yang tidak baik dari suatu prosedur operasi oleh seorang ahli bedah”.
Kelalaian untuk memperoleh suatu informed consent akan menyebabkan si dokter dapat dituntut oleh orangtua anak. Kekuatan orang tua untuk menyetujui dapat berupa penghentian sistem life-support pada si anak, dan pada keadaan tertentu memaksa si anak mendapatkan pengobatan.
Satu dari kedua orang tua pada umumnya cukup untuk memberikan persetujuan. Seorang wali, bahkan seorang saudaranya yang sudah dewasa yang secara sementara dititipkan pemeliharaan si anak, secara umum tidak memiliki kekuatan untuk memberi persetujuan pengobatan. Namun, jika seorang sebagai loco parentis diberikan ijin tertulis oleh seorang orang tua (seperti pada umumnya diberikan terhadap supervisor summer camps), dia memiliki posisi untuk menyetujui tindakan medis yang lebih luas.
Walaupun persetujuan medik secara umum diatur oleh hukum negara bagian, serta tiap-tian hukum di negara bagian adalah berbeda, seorang dokter biasanya tidak diharuskan memberitahu  pada pasien mengenai resiko-resiko yang begitu jarang terjadi sehingga tidak diperhitungkan, serta resiko-resiko dengan konsekuensi yang demikian ringannya. Luasnya persetujuan yang diberikan merupakan pertanyaan faktual untuk juri pengadilan. Dalam keadaan seorang orang tua tidak memiliki kapasitas mental untuk menyetujui suatu operasi pada seorang anak, dokter kadangkala dipersalahkan karena kegagalan untuk menyadari hal ini. Apakah seorang dokter tidak menjelaskan pada ibunya mengenai resiko operasi, resiko tidak dilakukan operasi, serta alternatif pengobatan selain pembedahan adalah pertanyaan2 tim juri pengadilan.
Suatu tuntutan terhadap tindakan yang dipersalahkan karena tidak adanya persetujuan medik, tidak akan berhasil kecuali si penuntut dapat menunjukkan bahwa andaikata si orang tua diminta persetujuan sebelumnya, maka hal ini tidak akan diberikan secara sukarela. Jika terdapat bukti bahwa jika orangtua diminta pendapatnya akan menolak memberi persetujuan, maka suatu tuntutan kerugian dapat dilakukan. Di lain pihak, orang tua yang tidak memberi persetujuan dapat secara tersirat memberikan persetujuan dengan secara retroaktif mengijinkan si anak kembali untuk mendapatkan prosedur-prosedur follow-up atau menerima kontribusi bagi pendidikan si anak dari masyarakat yang memberi setelah adanya pemberitaan yang menggambarkan prosedur medis dan ketegaran si anak dalam menjalaninya.



BAB 3
CONTOH INFORMED CONSENT PADA ANAK

3.1  Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai Imunisasi Pada Anak
*      Surat Persetujuan (informed consent)
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa informed consent adalah perse-tujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (pasal 1 ayat a).
·     Informasi harus diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta (pasal 4 ayat 1)
·     Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan (pasal 2 ayat 2)
·     Apabila tindakan medik dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dokter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin prakteknya (pasal 13)
Di dalam Permenkes tersebut yang dimaksud dengan tindakan medik adalah tindakan diagnostik atau terapeutik (pasal 1, ayat b), sehingga ada yang berpendapat bahwa imunisasi tidak perlu persetujuan tindakan medis. Namun, di Amerika dan Australia persetujuan tindakan medik sebelum imunisasi dianggap perlu, walaupun tidak harus tertulis. The American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan pemberian (berupa brosur) yang disusun dan disediakan oleh pemerintah bekerjasama dengan AAP dan produsen vaksin. Selain itu AAP menganjurkan agar setiap kali pemberian imunisasi orangtua menandatangani persetujuan tertulis, atau dicatat dalam catatan medik bahwa penjelasan telah dilakukan dan difahami oleh orangtua.
The Australian National Health and Medical Research Council (NHMRC) juga menganjurkan agar setiap kali sebelum imunisasi diberikan penjelasan  tertulis di samping penjelasan lisan. Pada imunisasi perorangan orangtua diberi daftar isian (kuesioner) dan keterangan tertulis tentang perbandingan risiko imunisasi dan bahaya penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut untuk dibaca dan didiskusikan dengan dokter. Tidak ada keharusan untuk mendapatkan persetujuan tertulis dari orangtua, cukup dicatat di dalam catatan medik bahwa orangtua telah diberikan penjelasan. Namun beberapa klinik  meminta persetujuan tertulis. Imunisasi masal (di sekolah) dilakukan setelah ada persetujuan tertulis dari orangtua. Namun jika orangtua hadir dibutuhkan persetujuan lisan dari orangtua. Namun jika orangtua hadir dibutuhkan persetujuan lisan dari orangtua walaupun telah ada persetujuan tertulis pada imunisasi sebelumnya.
Sejalan dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta kesadaran konsumen tentang hak-haknya, dihimbau kepada anggota IDAI sebelum melakukan imunisasi sebaiknya memberikan penjelasan bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak terhadap bahaya penyakit  mempunyai manfaat lebih besar dibandingkan dengan risiko kejadian ikutan yang dapat ditimbulkannya (sesuai maksud pasal 2 ayat 3 Permenkes 585/1989). Cara penyampaian dan isi informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien (Permenkes 585/1989, pasal 2 ayat 4). Imunisasi yang dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak (di Posyandu, Puskesmas) tidak diperlukan persetujuan tindakan medik (sesuai Permenkes 585/1989 pasal 14).


*      Hal-hal yang Perlu Diperhatikan pada Bayi/Anak Sebelum Imunisasi
Orangtua atau pengantar bayi /  anak dianjurkan dan memberitahukan hal-hal tersebut di bawah ini secara lisan tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini,
·      Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat pada imunisasi sebelumnya,
·      Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin,
·      Sedang mendapat pengobatan steroid, radioterapi atau kemoterapi,
·      Menderita sakit yang menurunkan imunitas (leukimia, kanker, HIV/AIDS),
·      Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun (leukimia, kanker, HIV/AIDS),
·      Tinggal serumah dengan oang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas (radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid)
·      Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup (vaksin campak, poliomielitis, rubela)
·      Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau transfusi darah
*      Pemberian Parasetamol Sesudah Imunisasi
Untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi, dipertimbangkan untuk pemberian parasetamol 15 mg/kgbb kepada bayi/anak setelah imunisasi, terutama pasca vaksinasi DPT. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 4 kali dalam 24 jam. Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter.
*      Reaksi KIPI
Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan  atau reaksi umum berupa keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh , dan akan hilang dalam 1 - 2 hari. Di tempat suntikan kadang-kadang timbul kemerahan, pembekakan, gatal, nyeri selama 1 sampai 2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi keadaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umunya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.
*      Imunisasi
*      BCG
Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa 2-6 minggu setelah imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi selama 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak, koreng semakin membesar atau timbul pembesaran kelenjar regional (aksila), orangtua harus membawanya ke dokter.
*      Hepatitis B
Kejadian ikutan pasca imunisasi pada hepatitis B jarang terjadi, segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua / pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh  mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut menjdai berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi / anak ke dokter.
*      DPT
Reaksi  yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi, rewel, di tempat suntikan  timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari. Orangtua / pengaruh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 kg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua  merasa khawatir, bawalah bayi / anak ke dokter.
*      DT
Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air dingin . Biasanya tidak perlu tindakan khusus.
*      Polio Oral
Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio, oleh karena itu orangtua / pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun.
*      Campak dan MMR
Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5 12 hari setelah penyuntikan, yaitu demam tidak tinggi atau erupsi kulit halus/tipis yang berlangsung kurang dari 48 jam. Pembengkakan kelenjar getah bening di belakang telinga dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua / pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam diberikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika  reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi / anak ke dokter.