BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Informed Consent
“Informed Consent” terdiri
dari dua kata yaitu “Informed” yang
berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “Consent” yang berarti persetujuan atau
memberi izin. Jadi “Informed Consent”
mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat
informasi. Dengan demikian “informed
consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh
pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan
dengannya. Menurut D. Veronika Komalawati, S.H , “Informed Consent” dirumuskan sebagai
“suatu kesepakatan/persetujuan
pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah
memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan
untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang
mungkin terjadi. Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi
minimal 3 (tiga) unsur sebagai berikut :



Di Indonesia perkembangan “Informed
Consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya
pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “Informed Consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada
tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No.585 tahun 1989 tentang
“Persetujuan Tindakan Medik atau Informed
Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan
di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “Informed Consent” karena jauh sebelum
itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter
selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum
tindakan operasi itu
dilakukan. Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna
jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga
bentuk, yaitu:
o
Persetujuan tertulis, biasanya diperlukan untuk
tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam
PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat(1) dan SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung
resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya
tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah
terjadi informed consent);
o
Persetujuan lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan
medis yang bersifat non-invasif dan tidak
mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
o
Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui
isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik
atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui
tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan pelaksanaan Informed Consent dalam hubungan antara pelaksana
(dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “Informed Consent”, bertujuan sebagai berikut:
µ
Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien)
secara hukum dari segala tindakan medis yang
dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis
yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi
pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih
yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization”
yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;
µ
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana
tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta
akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya
terhadap “risk of treatment” yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti
serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam
batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan
kesalahan besar karena kelalaian (negligence)
atau karena ketidaktahuan (ignorancy)
yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari
pasien karena informed consent mempunyai beberapa
fungsi sebagai berikut :
1.
Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien
selaku manusia
2.
Promosi
terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3.
Untuk
mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4.
Menghindari
penipuan dan misleading oleh dokter
5.
Mendorong
diambil keputusan yang lebih rasional
6.
Mendorong
keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7.
Sebagai suatu
proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada
prinsipnya Informed Consent diberikan di
setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari
penerapan prinsip Informed Consent sangat
terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut:
1.
Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan
pembedahan/operasi
2.
Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan
yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum
dpahami efek sampingnya.
3.
Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang
kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi
dengan sinar laser, dll.
4.
Dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien.
5.
Dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter
juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
Informed consent hanya dapat diberikan oleh orang
dewasa yang telah mempunyai kemampuan untuk menerima dan mencernakan penjelasan
dari dokter. Pada sebagian besar pasien anak hal tersebut belum dapat
diberlakukan. Autonomy pasien sebagai asas penting dalam etika hubungan
dokter-pasien mengandung unsur penjelasan yang benar dan lengkap, keterbukaan,
dan informed consent. Hal terakhir inilah yang tidak dimilik oleh anak,
sehingga ia diwakili oleh orangtua atau pengasuhnya.
2.2 Informed
Consent Pada Anak
Secara umum, seorang dokter diharuskan memperoleh suatu informed consent (persetujuan medik)
dari pasien sebelum melakukan pengobatan. Bahwa seorang anak terlalu muda atau
imatur untuk memberi persetujuannya sendiri tidak membebaskan seorang dokter
dari kewajibannya memperoleh suatu persetujuan medik.
Dalam hukum umum doktrin persetujuan medik yang lalu, seorang dokter
diharuskan memperoleh persetujuan dari orang tua anak, pelindung, atau seorang
yang berperan sebagai loco parentis (bukan
orang tua), sebelum melakukan pembedahan, pemberian obat, atau bahkan menyentuh
tubuh seorang anak untuk melakukan pemeriksaan. Seorang minor adalah
orang berumur di bawah 21, dan hukum ini tidak dapat ditawar. Hanya terdapat
satu sumber untuk persetujuan pengobatan seorang minor yaitu orang tua
atau pelindung si minor dan persetujuan sah untuk semua tujuan sepanjang
tidak ada penipuan dalam penggambaran pengobatan oleh si dokter.
Orang tua memiliki hak untuk memberi atau tidak memberi persetujuan, karena
tanggung jawab, perawatan, dan pemenuhan kebutuhan si anak terletak di pundak
orang tuanya. Dasar dari hak orang tua untuk memberi atau tidak memberi
persetujuan mereka adalah bahwa “biaya untuk dukungan dan pemeliharaan anak
mereka dapat meningkat banyak setelah suatu hasil yang tidak baik dari suatu
prosedur operasi oleh seorang ahli bedah”.
Kelalaian untuk memperoleh suatu informed
consent akan menyebabkan si dokter dapat dituntut oleh orangtua anak.
Kekuatan orang tua untuk menyetujui dapat berupa penghentian sistem life-support pada si anak, dan pada
keadaan tertentu memaksa si anak mendapatkan pengobatan.
Satu dari kedua orang tua pada umumnya cukup untuk memberikan persetujuan.
Seorang wali, bahkan seorang saudaranya yang sudah dewasa yang secara sementara
dititipkan pemeliharaan si anak, secara umum tidak memiliki kekuatan untuk
memberi persetujuan pengobatan. Namun, jika seorang sebagai loco parentis
diberikan ijin tertulis oleh seorang orang tua (seperti pada umumnya diberikan
terhadap supervisor summer camps), dia memiliki posisi untuk menyetujui tindakan
medis yang lebih luas.
Walaupun persetujuan medik secara umum diatur oleh hukum negara bagian,
serta tiap-tian hukum di negara bagian adalah berbeda, seorang dokter biasanya
tidak diharuskan memberitahu pada pasien mengenai resiko-resiko yang
begitu jarang terjadi sehingga tidak diperhitungkan, serta resiko-resiko dengan
konsekuensi yang demikian ringannya. Luasnya persetujuan yang diberikan
merupakan pertanyaan faktual untuk juri pengadilan. Dalam keadaan seorang orang
tua tidak memiliki kapasitas mental untuk menyetujui suatu operasi pada seorang
anak, dokter kadangkala dipersalahkan karena kegagalan untuk menyadari hal ini.
Apakah seorang dokter tidak menjelaskan pada ibunya mengenai resiko operasi,
resiko tidak dilakukan operasi, serta alternatif pengobatan selain pembedahan
adalah pertanyaan2 tim juri pengadilan.
Suatu tuntutan terhadap tindakan yang dipersalahkan karena tidak adanya
persetujuan medik, tidak akan berhasil kecuali si penuntut dapat menunjukkan
bahwa andaikata si orang tua diminta persetujuan sebelumnya, maka hal ini tidak
akan diberikan secara sukarela. Jika terdapat bukti bahwa jika orangtua diminta
pendapatnya akan menolak memberi persetujuan, maka suatu tuntutan kerugian
dapat dilakukan. Di lain pihak, orang tua yang tidak memberi persetujuan dapat
secara tersirat memberikan persetujuan dengan secara retroaktif mengijinkan si
anak kembali untuk mendapatkan prosedur-prosedur follow-up atau menerima
kontribusi bagi pendidikan si anak dari masyarakat yang memberi setelah adanya
pemberitaan yang menggambarkan prosedur medis dan ketegaran si anak dalam
menjalaninya.
BAB 3
CONTOH INFORMED
CONSENT PADA ANAK
3.1 Penjelasan
Kepada Orangtua Mengenai Imunisasi Pada Anak

Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no. 585 tahun 1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa informed consent adalah
perse-tujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (pasal 1
ayat a).
·
Informasi harus diberikan kepada pasien baik diminta
ataupun tidak diminta (pasal 4 ayat 1)
·
Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
pasien harus mendapat persetujuan (pasal 2 ayat 2)
·
Apabila tindakan medik dilakukan tanpa adanya
persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dokter dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan izin prakteknya (pasal 13)
Di dalam
Permenkes tersebut yang dimaksud dengan tindakan medik adalah tindakan
diagnostik atau terapeutik (pasal 1, ayat b), sehingga ada yang berpendapat
bahwa imunisasi tidak perlu persetujuan tindakan medis. Namun, di Amerika dan
Australia persetujuan tindakan medik sebelum imunisasi dianggap perlu, walaupun
tidak harus tertulis. The American Academy of Pediatrics (AAP)
menganjurkan pemberian (berupa brosur) yang disusun dan disediakan oleh
pemerintah bekerjasama dengan AAP dan produsen vaksin. Selain itu AAP
menganjurkan agar setiap kali pemberian imunisasi orangtua menandatangani
persetujuan tertulis, atau dicatat dalam catatan medik bahwa penjelasan telah
dilakukan dan difahami oleh orangtua.
The
Australian National Health and Medical Research Council (NHMRC) juga
menganjurkan agar setiap kali sebelum imunisasi diberikan penjelasan
tertulis di samping penjelasan lisan. Pada imunisasi perorangan orangtua diberi
daftar isian (kuesioner) dan keterangan tertulis tentang perbandingan risiko
imunisasi dan bahaya penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut untuk
dibaca dan didiskusikan dengan dokter. Tidak ada keharusan untuk mendapatkan
persetujuan tertulis dari orangtua, cukup dicatat di dalam catatan medik bahwa
orangtua telah diberikan penjelasan. Namun beberapa klinik meminta
persetujuan tertulis. Imunisasi masal (di sekolah) dilakukan setelah ada
persetujuan tertulis dari orangtua. Namun jika orangtua hadir dibutuhkan persetujuan
lisan dari orangtua. Namun jika orangtua hadir dibutuhkan persetujuan lisan
dari orangtua walaupun telah ada persetujuan tertulis pada imunisasi
sebelumnya.
Sejalan
dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta kesadaran
konsumen tentang hak-haknya, dihimbau kepada anggota IDAI sebelum melakukan
imunisasi sebaiknya memberikan penjelasan bahwa imunisasi berguna untuk
melindungi anak terhadap bahaya penyakit mempunyai manfaat lebih besar
dibandingkan dengan risiko kejadian ikutan yang dapat ditimbulkannya (sesuai
maksud pasal 2 ayat 3 Permenkes 585/1989). Cara penyampaian dan isi informasi
disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien
(Permenkes 585/1989, pasal 2 ayat 4). Imunisasi yang dilaksanakan sesuai dengan
program pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak (di Posyandu, Puskesmas)
tidak diperlukan persetujuan tindakan medik (sesuai Permenkes 585/1989 pasal
14).

Orangtua
atau pengantar bayi / anak dianjurkan dan memberitahukan
hal-hal tersebut di bawah ini secara lisan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di
bawah ini,
·
Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang
berat pada imunisasi sebelumnya,
·
Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam
vaksin,
·
Sedang mendapat pengobatan steroid, radioterapi atau
kemoterapi,
·
Menderita sakit yang menurunkan imunitas (leukimia,
kanker, HIV/AIDS),
·
Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya
menurun (leukimia, kanker, HIV/AIDS),
·
Tinggal serumah dengan oang lain dalam pengobatan yang
menurunkan imunitas (radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid)
·
Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin
virus hidup (vaksin campak, poliomielitis, rubela)
·
Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau
transfusi darah

Untuk
mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi, dipertimbangkan
untuk pemberian parasetamol 15 mg/kgbb kepada bayi/anak setelah imunisasi,
terutama pasca vaksinasi DPT. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai
kebutuhan, maksimal 4 kali dalam 24 jam. Jika keluhan masih berlanjut, diminta
segera kembali kepada dokter.

Orangtua
atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat timbul reaksi
lokal di tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan dan gejala
tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan,
mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh , dan akan hilang dalam 1 - 2 hari.
Di tempat suntikan kadang-kadang timbul kemerahan, pembekakan, gatal, nyeri
selama 1 sampai 2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi keadaan tersebut.
Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa minggu atau
lebih, tetapi umunya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.


Orangtua atau pengantar perlu
diberitahu bahwa 2-6 minggu setelah imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil (papula)
yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi selama 2-4 bulan, kemudian
menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut. Bila ulkus mengeluarkan
cairan orangtua dapat mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan
bertambah banyak, koreng semakin membesar atau timbul pembesaran kelenjar
regional (aksila), orangtua harus membawanya ke dokter.

Kejadian ikutan pasca imunisasi pada
hepatitis B jarang terjadi, segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang
tidak tinggi, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri,
rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua / pengasuh dianjurkan untuk memberikan
minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis,
bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam
24 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau
cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut menjdai berat dan menetap,
atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi / anak ke dokter.

Reaksi yang dapat terjadi
segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi, rewel, di tempat
suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan hilang dalam
2 hari. Orangtua / pengaruh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI
atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang
nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 kg/kgbb
setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi
atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan
menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi / anak ke
dokter.

Reaksi yang dapat terjadi pasca
vaksinasi DT antara lain kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan.
Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air dingin . Biasanya tidak
perlu tindakan khusus.

Sangat jarang terjadi reaksi sesudah
imunisasi polio, oleh karena itu orangtua / pengasuh tidak perlu melakukan
tindakan apapun.

Reaksi yang dapat terjadi pasca
vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin.
Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5 12 hari setelah
penyuntikan, yaitu demam tidak tinggi atau erupsi kulit halus/tipis yang
berlangsung kurang dari 48 jam. Pembengkakan kelenjar getah bening di belakang
telinga dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua / pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam
pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air
dingin, jika demam diberikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila
diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan
air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika
orangtua merasa khawatir, bawalah bayi / anak ke dokter.